Mengungkap Misteri Sakoku: Kebijakan Isolasi yang Mengubah Sejarah Jepang

Sakoku merupakan sebuah kebijakan fenomenal sepanjang sejarah Jepang di abad ke 17 hingga 19. Kebijakan ini merupakan sebuah praktik “mengisolasi” negara Jepang yang mengakibatkan negeri sakura ini menjadi negara tertutup selama hampir lebih dari 200 Tahun. Tokugawa Iemitsu, menjadi sosok penting dalam pencetusan kebijakan ini.

Masa Sebelum Kebijakan Sakoku Diterapkan

Kebijakan Sakoku ini awal mulanya timbul dari keresahan rezim Tokugawa, sejak kedatangan bangsa Portugis untuk pertama kali di Jepang yang selain mereka melakukan perdagangan, mereka juga membawa ajaran agama Kristen dan budaya barat yang tidak relevan dengan budaya asli Jepang.

Pemerintah saat itu khawatir jika budaya barat dan agama kristen yang dibawa Portugis akan mengancam keutuhan budaya luhur Jepang, maka sejak era Tokugawa Leyasu (pemimpin pertama era Tokugawa) mulai melakukan semacam tindakan penindasan dengan menaikkan pajak secara besar-besaran kepada kaum-kaum minoritas (golongan masyarakat kristen di Jepang) serta beberapa kelompok petani.

Pemberontakan Shimabara sebagai Faktor Lahirnya Sakoku

Atas penindasan yang dilakukan pemerintah saat itu, kaum yang tertindas ini melawan dengan melakukan pemberontakan besar yang dinamakan Pemberontakan Shimabara (terjadi di tahun 1637-1638 dan menjadi pemberontakan terbesar selama era Tokugawa).

Hasil dari pemberontakan ini adalah kemenangan mutlak bagi pihak pemerintah dan setelah pemberontakan tersebut berakhir, pemerintah yang saat itu sudah berganti kepemimpinan dari Tokugawa Hidetada (Anak dari Tokugawa Leyasu) digantikan oleh cucu dari Tokugawa Leyasu yakni Tokugawa Iematsu secara langsung menyetujui kebijakan Sakoku pada tahun 1639 untuk diterapkan di Jepang dengan alasan mencegah adanya aliran budaya asing yang masuk ke Jepang dan juga Iematsu saat itu menilai kedatangan bangsa asing (terutama bangsa barat contohnya Portugis) hanya akan membawa kekacauan bagi bangsa Jepang.

Keadaan Jepang di Masa Sakoku

Selama kebijakan Sakoku diterapkan, sebenarnya bangsa Jepang tidak sepenuhnya menutup diri dari pihak luar.

Jepang tetap melakukan aktivitas perdagangan untuk menjalankan ekonominya dengan 4 bangsa, diantaranya: Cina, Korea (Joseon), Kerajaan Ryukyu (pulau kecil di selatan Jepang), dan Belanda. Kegiatan ekspor dilakukan dengan bangsa Korea dan Kerajaan Ryukyu sedangkan impor dengan Cina dan Belanda.

Belanda menjadi satu-satunya bangsa Barat yang berhubungan dengan Jepang karena tidak dianggap sebagai sebuah ancaman. Ke-4 bangsa ini membantu Jepang dalam bertahan hidup di tengah kebijakan Sakoku. Perdagangan saat itu berpusat di Pulau Dejima (bagian dari Prefektur Nagasaki).

Efek dari kebijakan Sakoku bagi masyarakat Jepang sangat besar, rasa nasionalisme bangsa Jepang meningkat sebab setiap harinya mereka diwajibkan untuk melestarikan dan menjunjung tinggi nilai budaya Jepang, budaya Jepang tidak terkena pengaruh dari budaya luar dan tetap terjaga hingga di masa kini, selain itu situasi negara Jepang saat masa Sakoku dapat dikatakan cukup stabil karena tidak ada pihak-pihak luar yang melakukan intervensi.

Bersamaan dengan pelestarian budaya, perkembangan pendidikan Jepang terbantu oleh peran orang-orang Belanda yang singgah dan mengajarkan ilmu sains barat kepada orang Jepang.

Berakhirnya Masa Sakoku

Akhir dari masa Sakoku dimulai sejak kedatangan bangsa Amerika dibawah komando Komodor Perry pada tahun 1853 dan 1854. Komodor Perry ingin bangsa Jepang membuka jalur perdagangannya dan menjalin hubungan diplomasi meskipun secara paksa dengan penandatanganan perjanjian Kanagawa (31 Maret 1854).

Komodor Perry datang dengan beberapa armada kapal uap yang dijuluki oleh warga Jepang sebagai “kapal hitam” karena asap hitam pekat yang membumbung keluar dari cerobong kapal-kapal itu. Akhirnya, masa kebijakan Sakoku yang bertahan selama lebih dari 2 abad ini berakhir disusul dengan keruntuhan Keshogunan Tokugawa di tahun-tahun berikutnya.