Perubahan lanskap media dalam satu dekade terakhir begitu cepat dan menyeluruh. Apa yang dulu disampaikan lewat koran cetak dan siaran TV, kini berpindah ke layar-layar kecil dalam genggaman. Di era serba digital ini, peran media bukan hanya sebagai penyampai kabar, tetapi juga sebagai cermin dari bagaimana masyarakat memproses, memahami, dan merespons berbagai peristiwa.
Melalui kanal seperti Portal Narasi, publik kini bisa mengakses berita harian, liputan investigatif, hingga konten feature yang mendalam—semua dalam satu platform. Tapi lebih dari itu, media kini juga punya tanggung jawab baru: menyaring lautan informasi, melawan disinformasi, dan menjaga ruang publik tetap sehat.
Bukan Lagi Sekadar Penyampai Berita
Media bukan lagi entitas satu arah. Dulu, pembaca atau penonton hanya bisa menerima apa yang dipilihkan oleh redaksi. Kini, audiens tidak hanya mengonsumsi, tapi juga ikut menciptakan, membagikan, bahkan mengkritik konten yang mereka temui.
Kehadiran media sosial mengubah segalanya. Siapa pun bisa menjadi pembawa berita, siapa pun bisa viral dalam semalam. Namun justru di titik inilah peran media profesional makin penting: untuk memilah mana informasi yang bisa dipercaya, mana yang tidak, dan bagaimana menempatkan konteks agar tidak menyesatkan.
Tren ini memunculkan model jurnalisme baru. Tak lagi hanya mengejar kecepatan, tapi juga mendalam, jujur, dan bertanggung jawab. Media-media yang bertahan di tengah banjir informasi adalah mereka yang tetap menjaga etika, sumber terpercaya, dan perspektif kritis.
Cerita Lokal, Suara yang Sering Terpinggirkan
Satu hal yang menarik dalam perkembangan media digital adalah kembalinya perhatian pada cerita-cerita lokal. Saat dunia dipenuhi berita-berita global, masyarakat justru merindukan kabar dari lingkungan terdekat. Siapa yang mengelola pasar tradisional di kampungnya? Mengapa harga cabai tiba-tiba naik? Bagaimana nasib nelayan di pantai seberang?
Cerita-cerita seperti itu tidak besar, tetapi nyata dan relevan. Banyak media alternatif dan komunitas kini mengangkat kisah-kisah dari pinggiran, membangun kembali kepercayaan publik lewat narasi yang jujur dan membumi.
Pendekatan ini sejalan dengan semangat saromben sebuah nilai dari budaya Sulawesi Tengah yang menekankan kerja sama dan distribusi manfaat secara adil. Dalam konteks media, saromben bisa berarti mengangkat suara mereka yang selama ini tak terdengar, melibatkan warga dalam peliputan, dan membuka ruang dialog yang setara antara pembuat berita dan masyarakat.
Beberapa media lokal kini bahkan melibatkan warga sebagai kontributor tetap, mengadakan lokakarya jurnalisme warga, hingga membuat kanal pengaduan yang transparan. Ini bukan hanya tentang mendekatkan media ke publik, tapi membangun ekosistem informasi yang berakar dan berkelanjutan.
Tantangan Media di Tengah Teknologi dan Kepentingan
Tentu tidak semua berjalan mulus. Media hari ini berhadapan dengan banyak tekanan. Di satu sisi, ada tuntutan untuk tetap independen dan kritis. Di sisi lain, ada tekanan finansial, persaingan algoritma, dan godaan trafik instan yang bisa menggoda untuk meninggalkan prinsip-prinsip jurnalisme.
Model bisnis media konvensional banyak yang runtuh. Iklan tak lagi jadi andalan, sebab pengiklan kini lebih memilih platform besar seperti Google dan Meta yang punya data pengguna sangat rinci. Akibatnya, banyak media kecil terpaksa menggantungkan diri pada donasi publik atau bermitra dengan lembaga swadaya masyarakat untuk tetap hidup.
Ironisnya, di tengah krisis keuangan, kebutuhan akan media yang berkualitas justru meningkat. Publik butuh panduan, terutama saat menghadapi isu-isu besar seperti pemilu, pandemi, krisis iklim, dan konflik sosial. Di sinilah pentingnya solidaritas antara media, jurnalis, dan komunitas.
Sebagian media mulai membangun jaringan kolaboratif. Bukan untuk bersaing, tapi berbagi sumber daya, meliput bersama, dan memperluas jangkauan narasi. Kolaborasi seperti ini sudah mulai diterapkan di berbagai proyek investigasi lintas daerah maupun lintas negara. Prinsip saromben kembali relevan: berbagi beban, berbagi hasil, dan saling menjaga.
Harapan Baru dari Generasi Baru
Generasi muda saat ini tumbuh dalam era media digital. Mereka skeptis, cepat, dan akrab dengan berbagai format visual. Tapi justru karena itulah, mereka juga menjadi konsumen media yang paling kritis. Mereka tak puas dengan judul bombastis, ingin transparansi sumber, dan menghargai orisinalitas serta keberpihakan pada nilai-nilai keadilan sosial.
Banyak jurnalis muda kini hadir dengan pendekatan baru: bercerita lewat video pendek, menyampaikan data dengan infografik, atau melaporkan langsung dari lapangan melalui live stream. Bentuknya bisa berubah, tapi prinsip jurnalistik yang baik tetap berlaku—akurat, adil, dan bertanggung jawab.
Media seperti Portal Narasi menjadi contoh bagaimana pendekatan jurnalistik bisa bertransformasi tanpa kehilangan arah. Mereka memadukan narasi manusia, data, dan teknologi, sekaligus membangun komunitas pembaca yang aktif dan partisipatif.
Penutup: Media Bukan Hanya Tentang Berita
Di tengah dunia yang makin cepat berubah, kita butuh lebih dari sekadar informasi. Kita butuh pemahaman, konteks, dan ruang untuk bertanya. Media yang baik bukan hanya menyampaikan apa yang terjadi, tapi juga mengapa itu penting dan bagaimana kita bisa terlibat.
Melalui pendekatan kolaboratif seperti saromben, dan dengan dukungan komunitas kritis serta media seperti Portal Narasi, kita bisa membangun masa depan informasi yang lebih sehat, adil, dan membumi. Karena media sejatinya bukan hanya tentang memberitakan—tapi juga tentang menjaga nalar publik tetap hidup.